Tuesday, December 19, 2006
Info Kajian Rutin BDM IMMARO
(Setiap Selasa
Pekan IV)
“Toleransi beragama, adakah ?”
Oleh : Ust. Ir. Abdullah Ibnu Abdurrahman
Selasa 26 Des. 2005
Jam 16.00 – Selesai
Di Ruang Pertemuan Masjid Diponegoro Pleburan
CP : Ipung
(024-70318127)
TAFSIR FII ZHILALIL QUR’AN
(Di Bawah Naungan Al Qur’an)
Oleh : Ust. Nashruddin
Setiap Rabu
Jam 16.00 – Selesai
Di Ruang Pertemuan Masjid Diponegoro Pleburan
CP : Ipung
(024-70318127
Talk Show : ”Persembahan Cinta Untuk Bunda”
Talk Show : ”Persembahan Cinta Untuk Bunda”
(Diskusi, Parade Puisi & Teatrikal)
Menghadirkan :
Dra. Hj. Darosy Endah, H. M.Pd (Dosen FISIP UNDIP)
Indra Lestari (Mantan Ketua Annisa IMMARO)
Sabtu, 23 Desember 2006
Pukul 08.30 – 12.00 WIB
Di Ruang Pertemuan Masjid Diponegoro Pleburan
Kontribusi :
Rp. 5000,-
Fasilitas : Makalah, Pin Cantik, Snack.
Female Only
By : Annisa IMMARO
CP : Erni – 081931913372, Yasmin - 081329741313
Sunday, December 17, 2006
Selamat Datang...
Assalamu’alaikum. wr. wb.
Alhamdulillahirabbil ‘âlamîn washashalatu wassalamu ‘ala sayyidil mursalin wa imâmil muttaqîna, wa ‘ala âlihi wa ash haabihi waman da’â bida’watihi waltazama bitharîqatihi, watarassama khuthâhu, waja’alal aqîdata ‘asâsân lifikratihi, wal ‘ahkâma syar’iyyata miqyâsân ‘amalihi,
wa mashdarân ahkamihi.
Asyhadu’alla illahailallah wahdahula syarikalah, wa asyhadu anna muhammadan abduhu warasulluhu lâ nabiyal ba’da. Allahumma shalli wa sallim ‘ala sayyidinaa muhammadin,
wa ‘ala aalihi wa ash haabihi waman da’aa ilallahi bida’ watil islam, waman tamassaka bisunnati rasuulihi waman tabiahu bi ihsaani ila yaumiddiin. Amma ba’du
Segala puja & puji syukur kita haturkan kehadirat Allah rabbul izzati, shalawat serta salam semoga terlimpah kpd uswah kita, panutan kita, nabi kita, baginda Rasulullah Saw, para shahabat, tabiin, tabiit tabiin, serta pengemban dakwah yg istiqomah memperjuangkan dinul Islam.
Ikhwah fillah rahimakumullah, Selamat datang di www.immaro.blogspot.com sebuah blogger yang dikelola oleh Badan Dakwah Masjid (BDM) Ikatan Pemuda dan Remaja Masjid Diponegoro (IMMARO), sarana yang kami gunakan untuk mengenalkan dan mempublikasikan ide-ide dan kegiatan-kegiatan kami.
Sebelumnya kami mengucapkan banyak terimakasih kepada semua pihak, kritik dan saran yang bersifat membangun senantiasa kita nantikan. Mudah2an blogspot ini memberikan kontribusi yang positif untuk dakwah islam dan untuk li isti’nawi al hayatul islamiyah. Allahu Akbar....
Wassalamualaikum.wr.wb.
Ketua Umum
BDM IMMARO
70301924
Thursday, December 14, 2006
Petunjuk Juru Da’wah
Dan hendaklah ada diantara kamu, segolongan yang (tetap) menyeru kepada kebajikan dan menyuruh berbuat makruf dan melarang yang mungkar. Mereka orang-orang yang menang.(Ali Imran 104).
Da’wah dalam pengertian ini tidak hanya para Ustadz yang berdiri dimimbar atau menjadi pembicara dalam pengajian-pengajian, tetapi juga para individu yang berbicara secara personal, menasehati, mengajak dan membujuk dengan cara yang baik agar kembali kepada ajaran Islam.
Dengan kondisi masyarakat jahiliyah modern yang begitu jauh dari kehidupan yang islami, dimana kehidupan jahiliyah modern ini lebih berbahaya daripada jahiliyah dizaman Rasulullah saw (begitu pendapat sebagian ulama). Karena ia ditunjang dengan ilmu dan teknik, disalurkan melalui seni dan budaya, disulam dengan benang syirik dan nifak (munafik). Sehingga sangat mempesona dan menyilaukan mata serta dengan mudah membangkitkan nafsu hewani. Untuk itu diperlukan para juru da’wah yang mempunyai persiapan lebih matang, tidak lalai, gugup dan memalingkan muka menghadapi tantangan tersebut. Tetapi menyampaikan apa adanya risalah Allah swt, pahit maupun manis.
Sebagai juru da’wah dia mempunyai tujuan:
Mengajak beribadah hanya kepada Allah
Tidak menyekutukan Allah dengan sesuatu dan hanya menyembah-Nya, membersihkan diri segala sesuatu yang berbau syirik, seperti; perdukunan, sihir, tahayul, meyakini tempat keramat, jimat dan sebagainya.
Meyakini Allah pengatur sekalian alam
Ia harus membersihkan dirinya terlebih dahulu terhadap pandangan hidup selain Islam, dia dengan tegas menolak untuk mendukung sistem jahiliyah yang merusak kehidupan masyarakat, jika ia masih melibatkan diri dengan sistem yang rusak berarti ia termasuk orang-orang sejenis nifak.
Atau ia masih menyenangi kehidupan agama yang sempit dalam bidang perkawinan, perceraian dan pewarisan, sedangkan ajaran Islam yang lainnya dijalankan dengan aturan buatan manusia. Maka orang-orang seperti inilah orang-orang munafik, mereka bisa saja berlabel ulama, cendekiawan muslim, Kiai, dsbg-nya, mereka mengeluarkan fatwa-fatwa sesuai keinginan penguasa dan bertentangan dengan syari’at atau mengeluarkan pernyataan yang menyesatkan, semoga Allah menunjuki mereka.
Sangat menyedihkan memang, jika ulama, cendekiawan muslim, Kiai, dll merasa telah cukup dengan pengetahuan agama, bersyahadat, shalat, puasa dan haji serta ajaran agama lainnya. Mereka mengira dengan perbuatan tersebut pintu syurga terbuka lebar buat mereka, meskipun tetap melakukan kemaksiatan dengan ucapan dan fikirannya, mengikuti kehendak dan hawa nafsu penguasa atau memilih pendapat yang palsu.
Dan mereka berkata: “Kami sekali-kali tidak akan disentuh api neraka, kecuali selama beberapa hari saja” (Al-Baqarah 80).
Mereka tidak merasa sempit dadanya dengan mengikuti ideologi komunisme, kapitalisme (demokrasi), fasisme dan ideologi Barat lainnya yang jelas-jelas bertentangan dengan Islam. Seharusnya mereka sepenuhnya menyerahkan bulat-bulat kepada Allah semata dalam mengatur sistem kehidupan ini dan menjauhkan dari ideologi golongan yang sempit itu.
Menyerahkan kekuasaan ditangan Allah
Merubah sistem pemerintahan yang membuat kerusakan dimuka bumi ketangan orang yang beriman kepada Allah dan hari kiamat, sehingga kita memperoleh kebahagiaan dunia dan akhirat.
Selama urusan dunia ini diserahkan kepada orang-orang fasik ini dalam bidang politik, eknomi, perundangan, sosial, budaya, dll, maka tidak mungkin seorang muslim mampu menjalankan Islam ini secara kaffah (totalitas). Bagaimana ia akan menanamkan akhlaq dan kehidupan yang islami kepada anaknya jika sistem kufur membelit kehidupannya setiap hari.
Selanjutnya kita coba telaah bagaimana metode da’wah yang harus dilakukan seorang juru da’wah:
1. Bertaqwa, ikhlas dan berakhlaq mulia
Dia menjalani kehidupan dengan menjauhkan diri dari kehidupan mewah, bersikap sabar, bertekad kuat, kepribadian yang tangguh dan mengutamakan yang haq daripada yang bathil.
2. Mengamalkan sebelum menda’wahkan
Seorang juru da’wah akan selalu menjadi sorotan masyarakat, semua mata akan memandang kepadanya. Jika ia menda’wahkan sesuatu yang tidak diamalkannya maka orang-orang akan mengkritiknya dan kritik ini dapat membuat frustrasi juru da’wah karena sering dibesar-besarkan.
Dia harus selalu menunjukkan sifat yang terpuji, tingkah laku yang baik dan bermanfaat serta menjadi teladan bagi jamaah dan masyarakatnya.
3. Lakukan dengan cara yang baik
Berikanlah makan yang mampu mereka cerna, jangan menjelaskan masalah furuiyah (rinci) sebelum menjelaskan masalah ushul (pokok) terlebih dahulu. Hadapi mereka dengan kasih sayang, tidak dengan kebencian dan penghinaan, arahkan pikiran sikap mereka sedikit demi sedikit kearah yang benar penuh kesabaran. Seperti seorang dokter yang mengobati pasien yang penuh kesabaran dan bertujuan untuk kebaikan pasien, bisa saja dokter menyakiti pasien dengan menyuntik bahkan mengoperasinya tetapi itu semua untuk kebaikan pasien.
Jangan mengajak umat berdebat dengan pidato atau polemik dalam tulisan, karena semua itu kurang wajar dan sopan dalam berda’wah, keburukannya lebih besar dari kebaikannya.
Da’wahilah manusia kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah (dalil), nasihat yang baik dan debatlah mereka dengan debat yang baik. (An-Nahl 125).
4. Bersikap sabar
Sabar dalam menghadapi rintangan, penganiayaan dan penghinaan, tidak melibatkan diri perdebatan yang tidak bermanfaat. Mengutamakan da’wah terlebih dahulu kepada orang-orang yang tertarik kepada Islam, meskipun mereka orang-orang miskin, hina papa dan lemah.
5. Tidak mengharapkan pujian
Jangan mengharapkan pujian dan tidak bersikap sombong, selalu ikhlas dan mengharapkan ridha Allah swt.
Demikianlah, seorang juru da’wah mempunyai iman yang kokoh, hujjah yang kuat dan tepat, ketekunan, wibawa dan akhlaq yang mulia, sabar, tekun, bijaksana dan pandangan yang jitu (cerdas). Insyaallah jika syarat diatas dipenuhi dan dijalankan sungguh-sungguh maka da’wah akan berhasil dengan baik dan orang-orang akan tertarik mendengarkannya. Jika belum berhasil, maka perlu dievaluasi kembali apa saja kekurangan yang menyebabkan kegagalannya.
Dia juga harus berbaur dan bekerjasama dengan masyarakatnya, sehingga masyarakat merasa juru da’wah merupakan bagian darinya, merasakan suka dukanya, menjadi tempat rujukan setiap ada masalah yang dihadapinya dan siap membantu mereka yang kesusahan.
Semua juru da’wah harus bertekad untuk tidak membela sistem dan peraturan yang bathil serta membuat kerusakan dimuka bumi, ia harus menjelaskan kepada umat akibat menjalankan sistem itu dengan mengungkapkan fakta-fakta yang terjadi ditengah umat. Sehingga umat dapat membandingkan dan memilih yang benar, jangan memaksakan kepada mereka.
Dalam berjamaah, juru da’wah harus:
1. Mempunyai organisasi yang memiliki prinsip dasar yang akan diterapkan dalam kehidupan ini. Seorang juru da’wah menyampaikan bahwa tidak seorangpun berhak mengatur kehidupan dikolong langit ini selain sang Khaliq sendiri. Jika juru da’wah ingin berhasil secepat mungkin, atau takut terhadap ancaman jiwa dan hartanya, maka ini menunjukkan kelemahan iman dan bobroknya akhlaq.
2. Memilih anggota yang mempunyai kesetiaan yang tinggi, harus diketahui siapa yang dapat dipercaya dan siapa yang tidak. Mereka harus mampu bersabar dalam menghadapi cobaan dan rintangan.
3. Mempunyai anggota bersikap patuh, melaksanakan tugas dengan baik dan hidup saleh. Hal seperti inilah yang menyebabkan umat menghormati juru da’wah, dan ia akan mendapat perlindungan dari umat jika terjadi sesuatu terhadap dirinya.
4. Tidak meminta perlindungan kepada polisi, hakim atau penguasa yang mengadilinya, sikap ini menunjukkan ketinggian budi dan akhlaq. Mereka hanya tunduk kepada UU yang akan menjauhkan mereka dari pengkhianatan dan penipuan.
Memperkokoh hubungan dengan Allah
Seorang juru da’wah harus mempunyai hubungan yang dekat dengan Allah, karena dengan begitu dia mempunyai sikap yang selalu optimis dan tidak patah semangat dalam menghadapi setiap rintangan, penghinaan dan penganiayaan. Dia akan selalu menjaga pikiran, ucapan dan tindakannya selalu sesuai syari’at Allah sehingga memperoleh ridha Allah.
Cara mendekatkan diri kepada Allah adalah:
* Mengkaji Al-Quran dan Hadist kemudian mengamalkannya
Melipatgandakan ibadah wajib dan sunnah;
* Shalat; selain shalat wajib juga shalat sunnah rawatib, dhuha, tahajud, dan lain-lain
Puasa; selain puasa dibulan Ramadhan juga puasa senin-kamis, 3 hari dalam sebulan (tgl 13, 14 dan 15 setiap bulan), dan lain-lain.
* Dzikir; selalu mengingat Allah dalam keadaan apapun dan dimanapun, dzikir dilakukan sesuai tuntunan Rasulullah saw.
* Infaq; dalam berinfaq yang utama adalah keikhlasan dan infaq dapat menghapus dosa-dosa kecil yang kita lakukan tentu saja setelah kita bertaubat atas kesalahan tersebut.
Bagaimana cara mengukur kedekatan kita kepada Allah?. Tidak begitu sulit mengukurnya, kita dapat mengevaluasi diri;
Apakah setiap ucapan, pikiran dan tindakan kita sesuai dengan Al-Quran dan Sunnah?,
Berapa banyak waktu, harta dan pikiran kita digunakan untuk menegakkan agama Allah?,
Bagaimana tingkat keresahan jiwa saat tertimpa musibah?,
Bagaimana perasaan kita melihat pelanggaran hukum-hukum Allah oleh masyarakat?
Sesungguhnya mereka yang berkata Tuhan kamu Allah kemudian mereka tetap berjalan lurus, berturunanlah kepada mereka para malaikat. (Ahkaf 13).
Semua hal diatas perlu diingat dan ditanamkan dalam jiwa para juru da’wah, sehingga jiwa menjadi tenang. Keberhasilan dan kegagalan da’wah memang tergantung Allah yang Maha Kuasa, manusia hanya dapat berusaha tetapi usaha yang sesuai dengan tuntunan Al-Quran dan sunnah akan memperoleh ridha Allah dan syurga balasannya. Allah akan menilai proses yang telah kita jalani, hasilnya Allah yang menentukan.
Sesungguhnya tugasmu hanyalah menyampaikan. (Ar-Ra’du 40).
Berdo’alah,
Ya Allah, lapangkanlah untukku dadaku, dan mudahkanlah urusanku, dan lepaskanlah kekakuanku dari lidahku supaya mereka mengerti perkataanku. (Thaha 25-28).
Wallahua’lam,
Wednesday, December 13, 2006
Pandangan Hidup Dan Tugas Mahasiswa Muslim
Pandangan hidup muslim adalah pandangan hidup Islam, yaitu cara pandang terhadap kehidupan menurut sudut pandang Islam. Ini terwujud dalam persepsi-persepsi (mafahim) Islam yang berupa pemikiran-pemikiran (afkar) dan hukum-hukum (ahkam) Islam, yang terlahir dari Aqidah Islamiyah. Pandangan hidup ini menjadi standar untuk menilai berbagai fakta kehidupan dan menjadi pedoman bagi segala perilakunya dalam kehidupan.
Aqidah Islamiyah ini wajib dipahami secara akli, yakni melalui proses berpikir yang mendalam terhadap dalil-dalilnya. Setelah itu, wajib pula terjadi proses pembenaran secara pasti (tashdiq jazim) terhadap Aqidah Islamiyah yang telah dikaji, agar aqidah ini menjadi persepsi (mafhum), bukan semata pengetahuan (ma’lumat). Aqidah yang demikian, akan efektif dan fungsional sebagai dasar pandangan hidup. Tanpa proses pemahaman akli (al idrak) dan pembenaran (tashdiq) ini, Aqidah Islamiyah hanya akan menjadi pengetahuan belaka yang tidak mempunyai pengaruh apa-apa terhadap cara pandang dan perilaku seorang muslim.
Pandangan hidup muslim antara lain terwujud secara konkret dalam bentuk berbagai tugas (kewajiban) yang harus dilaksanakannya dalam kehidupan sehari-hari. Bagi seorang mahasiswa muslim, tugas utama yang wajib diembannya setidaknya ada 3 (tiga): Pertama, menuntut ilmu-ilmu yang diperlukan dalam kehidupan bermasyarakat. Tugas ini berkaitan dengan posisinya sebagai mahasiswa yang aktivitas utamanya adalah belajar. Kedua, mengkaji Tsaqofah Islamiyah (ilmu-ilmu keislaman). Tugas ini berkaitan dengan posisinya sebagai seorang muslim yang dengan sendirinya harus berpikir dan berperilaku secara Islami. Ketiga, mengemban dakwah Islamiyah. Tugas ini berkaitan dengan posisinya sebagai seorang muslim sebagai bagian dari keseluruhan umat Islam, yang harus mempunyai kepedulian terhadap keadaan umat dan harus berjuang untuk mengubah keadaan umat menuju keadaan yang lebih baik.
Pengantar
Manusia harus mempunyai pandangan hidup. Sebab, adanya pandangan hidup menunjukkan adanya proses berpikir, mengingat pandangan hidup itu diperoleh melalui jalan berpikir. Dengan kata lain, orang yang tidak punya pandangan hidup berarti tidak menggunakan akalnya. Dia telah kehilangan ciri utama kemanusiaannya dan anjlok derajatnya menjadi setara dengan binatang. Maka dia tak ubahnya seperti binatang yang tidak berakal, yang hidup hanya memperturutkan hawa nafsunya untuk memuaskan naluri dan tuntutan kebutuhan jasmaninya. Manusia seperti ini akan menjalani kehidupannya tanpa arah dan sikap yang jelas. Allah SWT berfirman:
“Terangkanlah kepadaku tentang orang-orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya. Maka apakah kamu dapat menjadi pemelihara atasnya? Atau apakah kamu mengira bahwa kebanyakan mereka itu mendengar atau memahami. Mereka itu tidak lain, hanyalah seperti binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat jalannya (dari binatang ternak itu).” (Qs. al-Furqaan [25]: 43-44).
Namun demikian, bukan berarti orang yang mempunyai pandangan hidup otomatis akan menjalani kehidupan dengan benar. Sebab pandangan hidup itu ada yang benar dan ada yang salah. Bisa saja seseorang mempunyai pandangan hidup, tetapi pandangan hidup sekuler yang cenderung memisahkan urusan agama dengan urusan kehidupan. Tentu saja orang seperti ini bukanlah orang yang hidup dengan benar, melainkan orang yang sesat, karena ide sekulerisme adalah ide kufur yang sangat bertentangan dengan Islam.
Dengan demikian, jelas bahwa manusia memang harus mempunyai pandangan hidup, akan tetapi bukan sembarang pandangan hidup. Pandangan hidup yang dimiliki harus berupa pandangan hidup yang benar.
Bagi seorang muslim, pandangan hidup yang benar hanyalah pandangan hidup Islam semata, karena agama yang diridhai di sisi Allah hanyalah Islam saja. Agama-agama selain Islam seperti Yahudi dan Nashrani adalah agama kafir, sebagaimana ideologi-ideologi selain Islam seperti Kapitalisme dan Sosialisme adalah ideologi kafir. Semua agama dan ideologi selain Islam tidak akan diterima oleh Allah SWT, sebagaimana firman Allah SWT:
“Sesungguhnya agama (yang diridhai) di sisi Allah hanyalah Islam.” (Qs. Ali ‘Imraan [3]: 19).
“Barangsiapa mencari agama selain Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi.” (Qs. Ali ‘Imraan [3]: 185).
Seorang muslim wajib berpandangan hidup Islam, yaitu memandang segala sesuatu dari sudut pandang Islam. Kewajiban ini telah ditunjukkan oleh Rasulullah Saw ketika suatu saat terjadi gerhana matahari yang bertepatan dengan meninggalnya Ibrahim, putera Rasulullah. Saat itu orang-orang mengatakan bahwa gerhana matahari terjadi karena meninggalnya Ibrahim. Maka berkatalah Rasulullah Saw:
“Sesungguhnya matahari dan bulan adalah tanda-tanda kekuasaan Allah. Tidaklah keduanya mengalami gerhana karena mati atau hidupnya seseorang.” (An Nabhani, 1963)
Dengan sabdanya itu, Rasulullah Saw telah membimbing cara pandang shahabat terhadap suatu fakta, yaitu menjadikan Islam sebagai standar berpikir untuk menilai segala sesuatu fakta. Rasulullah Saw telah mengarahkan pemikiran para shahabat untuk memandang bulan dan matahari serta segala sifat-sifatnya —seperti terjadinya gerhana pada keduanya— sebagai tanda keberadaan dan kekuasaan Allah, bukan sebagai benda yang dipengaruhi atau mempengaruhi perjalanan nasib seseorang. Dengan kata lain, Rasulullah Saw telah menunjukkan cara memandang fakta (gerhana matahari) menurut sudut pandang Islam, sesuai firman Allah SWT:
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang, terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi orang yang berakal.” (Qs. Ali ‘Imraan [3]: 190).
THE BIGEST LOVE ‘TILL THE END OF THE WORLD
Cinta, membawa sesuatu menjadi lebih baik, membawa kita untuk berbuat lebih sempurna. Cinta juga mengajarkan kepada kita bagaimana arti sebuah pengorbanan dan memahami betapa besar kekuatan yang dihasilkannya. Dengan cinta dunia yang penat ini terasa indah. Ia juga mengajarkan kepada kita bagaimana caranya harus jujur dan berkorban, memberi dan menerima, melepas dan mempertahankan.
Telah banyak tinta sejarah mencatat kisah-kisah yang menggambarkan betapa dahsyatnya kekuatan cinta. Badung Bondowoso, tidak tanggung-tanggung membangunkan seluruh jin dari tidurnya dan membangun seribu candi untuk Lorojongrang seorang. Sangkuriang pun tak kalah dahsyatnya, diukirnya tanah menjadi telaga dengan perahu yang megah dalam semalam demi Dayang Sumbi terkasih, yang ternyata ibunya sendiri. Di India, Tajmahal bangunan yang maha megah juga didirikan karena cinta. Di setiap jengkal marmer bangunannya terpahat nama kekasih, buah hati sang raja. Bisa jadi, semua kisah besar dunia, berawal dari cinta.
Cinta adalah kaki-kaki yang melangkah membangun samudra kebaikan. Cinta adalah tangan-tangan yang merajut hamparan permadani kasih sayang. Cinta adalah hati yang selalu berharap dan mewujudkan dunia dan kehidupan yang lebih baik. Dan Islam tidak saja mengagungkan cinta tapi memberikan contoh konkrit dalam kehidupan, lewat kehidupan manusia mulia, Rasulullah tercinta.
Ada sebuah kisah tentang totalitas cinta yang dicontohkan Allah lewat kehidupan Rasul-Nya.
Pagi itu, meski langit telah mulai menguning, burung-burung gurun enggan mengepakkan sayapnya. Pagi itu Rasulullah dengan suara terbata-bata memberikan petuah, “Wahai umatku, kita semua ada dalam kekuasaan Allah dan cinta kasih-Nya. Maka taati dan bertakwalah kepada-Nya. Kuwariskan dua hal kepada kalian, Sunnah dan Alquran. Barang siapa mencinta sunnahku, berarti mencintai aku, dan kelak orang-orang yang mencintaiku akan bersama akan bersama-sama masuk surga bersama aku.”
Khutbah singkat itu diakhiri dengan pandangan mata Rasulullah yang teduh menatap sahabatnya satu-persatu. Abu Bakar menatap mata itu dengan berkaca-kaca, Umar dadanya naik turun menahan nafasnya. Usman menghela nafas panjang dan Ali menundukkan kepalanya dalam-dalam. Isyarat itu telah datang, saatnya sudah tiba. “Rasulullah akan meninggalkan kita semua“, desah hati semua sahabat kala itu. Manusia tercinta itu, hampir usai menyelesaikan menunaikan tugasnya. Tanda-tanda itu semakin kuat, tatkala Ali dan Fadlal dengan sigap menangkap Rasulullah yang limbung saat turun dari mimbar saat itu, seluruh yang hadir di sana pasti akan menahan detik-detik berlalu jika mungkin.
Matahari kian meninggi, tetapi pintu Rasulullah masih tertutup. Sedang di dalamnya, Rasulullah sedang terbaring lemah dengan keningnya yang berkeringat yang membasahi pelepah kurma yang menjadi alas tidurnya. Tiba-tiba dari luar pintu terdengar seseorang yang berseru mengucapkan salam.
“Bolehkah saya masuk?“ tanyanya.
Tapi Fathimah tidak mengizinkanya masuk.
“Maafkanlah, Ayahku sedang demam”, kata Fathimah yang membalikkan badannya dan menutup pintu.
Kemudian dia kembali menemani ayahnya yang ternyata sudah membuka mata dan bertanya pada Fathimah, “Siapakah itu wahai anakku?“
“Tak tahulah aku ayah, sepertinya baru kali ini aku melihatnya”, tutur Fathimah lembut.
Lalu Rasulullah memandang putrinya itu dengan pandangan yang menggetarkan satu-satu bagian wajahnya seolah hendak dikenang.
“Ketahuilah, dialah yang menghapuskan kenikmatan sementara, dialah yang memisahkan pertemuan di dunia, dialah Malaikat Maut”, kata Rasulullah.
Fathimah pun menahan ledakan tangis. Malaikat Maut sama menghampiri, tetapi Rasulullah menanyakan kenapa Jibril tidak ikut menyertai. Kemudian dipanggillah Jibril yang sebelumnya sudah bersiap di atas langit menyambut ruh kekasih Allah.
“Jibril apa hakku nanti dihadapan Allah nanti?“ tanya Rasulullah dengan suara yang amat lemah.
“Pintu-pintu langit telah terbuka, para malikat telah menanti ruhmu. Semua surga telah terbuka lebar menanti kedatanganmu”, kata Jibril.
Tapi itu ternyata tak membuat Rasulullah lega, matanya masih penuh kecemasan.
“Engkau tidak senang mendengar kabar ini?” tanya Jibril lagi.
“Kabarkan kepadaku bagaimana nasib ummatku kelak?” Rasulullah balik bertanya.
“Jangan khawatir, wahai Rasul Allah. Aku pernah mendengar Allah berfirman kepadaku : ‘Kuharamkan surga bagi siapa saja, kecuali ummat Muhammad telah berada di dalamnya”, kata Jibril.
Detik-detik semakin dekat saat Malaikat Maut melakukan tugasnya. Perlahan ruh Rasulullah ditarik. Tampak seluruh tubuh Rasulullah bersimbah peluh, urat-urat lehernya menegang.
“Jibril, betapa sakitnya sakarotul maut ini”, lirih Rasulullah mengaduh.
Fathimah terpejam, Ali yang di sampingnya menunduk semakin dalam dan Jibril membuang muka.
“Jijikah engkau melihatku sehingga kau palingkan wajahmu, Jibril?” tanya Rasulullah pada malaikat pengantar wahyu itu.
“Siapakah yang tega melihat kekasih Allah direnggut ajal”, kata Jibril.
Sebentar kemudian terdengar Rasulullah memekik, karena sakit yang tak tertahankan lagi.
“Ya, Allah dahsyat nian maut ini, timpakan saja semua siksa maut ini kepadaku, jangan kepada ummatku”, rintih Rasulullah menahan sakit yang tak terkira.
Badan Rasulullah mulai dingin, kaki dan dadanya sudah tak bergerak lagi. Bibirnya bergetar seakan hendak membisikkan sesuatu. Ali segera mendekatkan telinganya.
“Uushikum bi sholati wa maa malakat aiy manukum, peliharalah sholat dan santuni orang-orang lemah diantaramu”, desahnya.
Di luar pintu, tangis mulai terdengar bersahutan, sahabat saling berpelukan. Fathimah menutupkan tangan di wajahnya dan Ali kembali mendekatkan telinganya ke bibir Rasulullah yang mulai kebiruan.
“Ummatii....ummatii...ummatii ..”
Dan putuslah kembang hidup manusia mulai itu.
KINI MAMPUKAH KITA MENCINTAI BELIAU
BESERTA AJARANNYA
SEPERTI BELIAU MENCINTAI KITA (UMMATNYA)?
TIDAK MALUKAH KITA PADA ALLAH, PADA RASUL ?
SELAMA INI KITA TELAH MENGABAIKAN SYARIAHNYA
BRING BACK ISLAM...ALLAHU AKBAR...
Sunday, December 10, 2006
Selamat Datang Revolusi Islam...
Selamat tinggal Reformasi -- Reformasi telah Gagal dan Mati
Oleh : Rohmadi *)
SEBUAH wajah pergolakan masyarakat menuntut perbaikan kehidupan baik dalam sistem maupun realitas, senantiasa panas dan akan terus menggairahkan sebuah pergerakan mahasiswa. Pada tahun 1998, sebuah proses transformasi masyarakat Indonesia untuk meruntuhkan rezim dan menuju kehidupan baru dilaksanakan. Reformasi (Reformasi, dalam makna generiknya berarti perubahan radikal untuk perbaikan (bidang politik, sosial, dan agama) dalam suatu masyarakat atau negara (Lihat: KBBI, cet. ke-3, hlm. 735. Balai Pustaka, 1990). Reformasi dalam pengertian ini berbeda dengan istilah “reformasi” yang berkembang sekarangini,, yang ternyata lebih menunjukkan quasi-reformasi (reformasi semu). Faktanya, sejak “Orde Reformasi” digulirkan, tidak ada perubahan signifikan—apalagi radikal—dalam kehidupan berbangsa dan bernegara kita. Perubahan yang ada bukan saja sangat parsial, tetapi juga cenderung artifisial), sebuah jalan pintas transformasi masyarakat yang diusung ramai oleh mahasiswa dan tokoh pembaharu, menyeruak ke tengah masyarakat, menikam rezim hingga runtuh dan hancur, memunculkan harapan baru rakyat akan kehidupan yang lebih baik di masa ke depannya. Dan berjalanlah sistem lama -kapitalis sekuler- dalam jiwa baru yang lebih segar dan bersemangat. Selangkah demi selangkah berjalanlah sebuah gerakan pembaharuan meniti ganasnya krisis negara, krisis masyarakat, merajut kesejahteraan yang lama porak-poranda, menyulam negara yang luka dan keropos oleh ganasnya rezim diktator dan sistem-kapitalis sekuler busuk.
Namun apa lacur, karena tidak jelinya pejuang pergerakan, bodohnya analisis transformasi, dan nafsu meraih kekuasaan baru oleh tokoh-tokoh pergerakan reformasi, jadilah sebuah jalan yang tidak shahih ditempuh. Semua opini seakan mengerucut kepada kebencian akan rezim, tapi mereka lupa bahwa rezim bengis itu adalah hasil didikan sistem busuk kapitalis sekuler. Mereka menikam anak harimau tapi lupa akan induknya. Jadilah sistem busuk kapitalis-sekuler berjalan dengan melenggang aman, reformasi telah melegitimasi setan itu menjadi wujud baru yang segar dan menjanjikan. Namun setan tetaplah setan dan akan selalu membawa pada kehancuran. Kapitalis-sekuler dalam darah baru itu menggerogoti bangsa dan membawanya pada jurang kematian yang seakan tak bisa diselamatkan lagi. IMF, Bank Dunia, membawa jeratan-jeratan hutang baru yang berlimpah dengan bunganya yang mencekik yang tak akan habis terbayar hingga tujuh turunan. Dan kapitalisasi di semua bidang mengucurkan pendidikan mahal, kesehatan mahal, privatisasi aset nasional, kemiskinan sistemik, penggusuran, BBM mencekik, sembako tak terjangkau, kelaparan, dan berbagai bentuk penindasan rakyat lainnya. Budaya kapitalis sekuler itu melahirkan pornografi-pornoaksi, kriminalitas tinggi, aristokrat pemerintah korup, DPR wakil rakyat tawuran, partai-partai pecah, dan berbagai kehancuran lainnya. Sungguh reformasi dengan tetap pada sistem kapitalis-sekuler ini sekedar hanya mampu menghasilkan PEMBUSUKAN NEGARA. Rakyat sudak tidak percaya lagi dengan negara ini, sistemnya busuk-pemerintahnya korup. Dan reformasi ini hanya akan membawa rakyat pada titik nadhir kemusnahan peradaban. Dan satu kata –selamat tinggal reformasi, reformasi telah gagal dan mati-.
Kawan, sekaranglah kata revolusi harus menyeruak lagi sebagai satu-satunya jawaban. Tapi bukanlah revolusi sosialis yang konyol dan tak masuk akal. Rakyat harus dibawa dan diselamatkan dalam revolusi menuju sistem Tuhan. Kaum muslimin harus disadarkan kembali akan fitrahnya sebagai makhluk Tuhan, dan hanya dengan kembali kepada-Nya, kembali pada kehidupan dengan pelaksanaan aturan Tuhan-Syari’at Islam-lah, keadaan akan baik kembali. Sekaranglah saatnya kita menyerukan dan berjuang menuju Revolusi Islam, perjuangan menuju penerapan syari’at Islam secara sempurna, dalam Negara Islam yang sesuai dengan metode kenabian Rasulullah Muhammad SAW.
Paradigma Baru Reformasi
Manusia, sebagaimana diketahui, tidak hanya hidup untuk masa kini. Ia akan selalu berpikir tentang masa depan; baik jangka pendek maupun jangka panjang; baik terkait dengan masa depan kehidupan dunianya maupun kehidupan akhiratnya. Artinya, manusia tidak akan pernah puas dengan realitas kehidupan yang dialaminya, sebaik apa pun kehidupan tersebut. Jika kehidupannya baik, dia tentu menginginkan yang lebih baik. Jika kehidupannya buruk, dia tentu menginginkan kebaikan. Demikian seterusnya.
Manusia tidak akan pernah berpikir tentang perubahan kecuali jika ia menyadari bahwa di dalam kehidupannya terjadi kerusakan atau kebobrokan. Paling tidak, ia menjumpai fakta yang tidak sesuai dengan yang ia kehendaki. Oleh karena itu, diperlukan adanya penginderaan terhadap kerusakan yang terjadi di masyarakat. Penginderaan terhadap fakta, dengan demikian, merupakan prasyarat mendasar bagi adanya aktivitas berpikir. Manusia tidak mungkin bisa memahami fakta yang sesungguhnya terjadi tanpa adanya upaya untuk melakukan penginderaan terhadap fakta tersebut atau, paling tidak, merasakan efeknya. Dengan begitu, manusia akan selalu berpikir untuk mengubahnya.
Penginderaan terhadap fakta yang rusak dan segala derivasinya adalah berbeda dengan penginderaan terhadap dinginnya salju atau panasnya api yang bersifat fisikal. Penginderaan fisikal semacam ini berbeda dengan penginderaan terhadap berbagai gejala kemaksiatan yang merajalela—seperti perjudian, pelacuran, dan transaksi ribawi. Untuk melahirkan penginderaan maknawi—misalnya di seputar baik-buruk atau benar-salahnya sesuatu -diperlukan pemikiran pendahulu, yakni pemikiran yang telah menetapkam kriteria tentang bagaimana tatacara menilai sesuatu. Dengan pemikiran pendahulu, manusia dapat menilai sesuatu. Adakalanya sebagian manusia menganggap bahwa suatu hal itu baik, sementara yang lain menganggapnya buruk.
Adanya kesadaran dan pemikiran pendahulu merupakan unsur yang amat penting bagi lahirnya sebuah perubahan, yang sebelumnya diawali dengan proses berpikir untuk melakukan perubahan tersebut. Namun demikian, adanya kesadaran terhadap kerusakan dan pemikiran pendahulu saja tidaklah cukup. Agar manusia melakukan perubahan diperlukan adanya aspek lain yang tidak kalah pentingnya, yaitu kesadaran terhadap fakta penggantinya. Dengan demikian, perubahan memerlukan tiga unsur penting: (1) Kesadaran dan penginderaan terhadap fakta yang rusak; (2) Pemikiran pendahulu yang menentukan tatacara menilai fakta yang rusak; (3) Kesadaran terhadap fakta pengganti yang akan menggantikan fakta yang rusak.
Setelah itu, manusia dituntut untuk melakukan aktivitas sebagai tindak lanjut dari aktivitas berpikirnya. Agar aktivitas tersebut terarah, manusia harus menerapkan kaidah kausalitas. (‘Abdul Karim as-Sami, Kaedah Kausalitas (terj.), Pustaka Thariqul Izzah. Bogor, 1996, cet. Ke-1, hlm. 5). Di samping itu, manusia juga harus berpikir sungguh-sungguh (at-tafkîr al-jaddî) untuk merealisasikan tujuan yang hendak diraih. Berpikir sungguh-sungguh melibatkan dua aspek; (1) Tujuan—di dalam melakukan perubahan—dan pemahaman terhadap fakta penggantinya; (2) Upaya signifikan dalam rangka merealisasikan tujuan yang ditetapkan. (Taqiyuddin an-Nabhani, At-Tafkîr, terbitan Hizbut Tahrir. Al-Quds, 1973, cet. Ke-1, hlm. 115).
Walhasil, perubahan merupakan suatu hal sangat alamiah bagi manusia. Masalahnya, perubahan yang bagaimana yang seharusnya dilakukan, khususnya oleh kaum Muslim saat ini, agar menjadi lebih baik?
Dari “Reformasi” ke Reformasi: Membedakan Antara Islâh dan Taghyîr
Islam adalah agama yang sempurna. Di dalamnya tentu terdapat konsep perbaikan (al-Ishlâh) dan perubahan (at-taghyîr). Kedua konsep ini sebetulnya berlaku bagi setiap bangsa, negara, dan masyarakat pada setiap masa. Ini sesuai dengan sifat Islam yang rahmah li al-’âlamîn. Jika secara syar’î kondisi tertentu mengharuskan perbaikan secara umum, bukan semata-mata rekonsiliasi sebagaimana yang akhir-akhir ini kembali diangkat, maka yang dituntut oleh Islam adalah juga perbaikan. Demikian pula dengan perubahan.
Islam memberikan petunjuk yang jelas tentang tatacara melakukan aktivitas perbaikan (revisi) maupun perubahan (reformasi). Islam membedakan dengan tegas keduanya. Islam juga menjelaskan batasan yang jelas ihwal kapan perbaikan dilakukan dan kapan dilakukan perubahan. Bahkan, tidak hanya itu, Islam juga menjelaskan berbagai detail hukum-hukumnya secara rinci dan jelas.
Sementara itu, berkaitan dengan perbaikan yang sifatnya parsial (lebih tepat diistilahkan dengan revisi, bukan reformasi, sebagaimana yang dimaknai oleh sebagian besar dari kita saat ini).
Rasulullah saw. juga bersabda berkaitan dengan perbaikan masyarakat dan manusia secara umum: ”Pada mulanya Islam datang dalam kedaan asing kemudian Islam akan kembali menjadi asing sebagaimana awalnya. Berbahagialah orang-orang asing, yaitu orang-orang yang melakukan perbaikan terhadap sunnah-sunnah yang telah dirusak oleh manusia”. (HR. at-Turmudzi no. 2554.)
Reformasi (taghyîr) mencakup masalah yang mendasar dan total, yakni mencakup masalah akidah dan syariah sekaligus; sementara “reformasi” (islâh) menyangkut masalah cabang yang tentu bersifat parsial, yakni hanya menyangkut masalah syariat.
Secara umum, Dunia Islam saat ini berada dalam kondisi yang benar-benar terpuruk. Keterpurukan tersebut bersifat multidimensional; meliputi aspek politik, ekonomi, sosial, dan bahkan pemikiran. Umat ini tidak lagi memiliki sifat sebagaimana yang digambarkan oleh Allah Swt. dalam firman-Nya:
“Kalian adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh hal-hal yang makruf, dan mencegah hal-hal yang mungkar, sementara kalian beriman kepada Allah”. (QS Ali Imran [3]: 110).
Generasi Islam di masa lalu telah bersentuhan dengan Islam dan melakukan reformasi diri secara total. Mereka seakan dilahirkan kembali di dunia ini untuk yang kedua kalinya. Karena Islamlah mereka dapat menaklukkan negara super power pada waktu itu—Persia dan Romawi. Mereka juga mampu menggetarkan jantung Eropa dengan menaklukkan sebagian Eropa Timur, mengepung Kota Wina, bahkan meruntuhkan tembok dinding Konstantinopel.
Jika kita merefleksikan generasi tersebut pada kondisi umat Islam saat ini, kita pasti akan berkesimpulan bahwa kondisi umat saat ini bukanlah kondisi yang alamiah bagi mereka. Kondisi mereka sangat kontradiktif dengan deskripsi al-qur’an di atas. Dengan statusnya sebagai negara nasional, kekayaan mereka dirampok oleh orang-orang kafir, dan dilanggar kehormatannya; bahkan oleh manusia yang paling pengecut di dunia, yakni Yahudi. Mereka tidak ubahnya hidangan yang diperebutkan oleh orang-orang kafir; persis sebagaimana isyarat yang disampaikan oleh Nabi saw. Hal itu terjadi karena jauhnya kaum Muslim dari Islam dalam semua aspek kehidupannya; terutama dalam aspek pemerintahan, ekonomi, politik, dan sosial. Lebih menyedihkan lagi, kaum Muslim menjadikan orang-orang kafir yang telah merampok, mengeksploitasi, dan memperbudak mereka sebagai model dalam kehidupan.
Dalam kondisi seperti itu, diperlukan adanya upaya yang sungguh-sungguh untuk mengembalikan jatidiri kaum Muslim, sebagaimana yang telah digariskan oleh Zat Yang menciptakan manusia. Pertanyaan yang muncul adalah, kalaulah kita harus berubah, apakah saat ini kita cukup melakukan perbaikan yang bersifat tambal-sulam, ataukah harus melakukan perubahaan total; tentu dengan asumsi bahwa yang menentukan pilihan terhadap kedua hal tersebut adalah Allah Swt., bukan hawa nafsu maupun kemaslahatan yang ditentukan oleh akal manusia (Lihat: QS al-A’raf [7]: 54 dan al-Jatsiyah [45]: 18).
Untuk menentukan apakah dakwah kita saat ini harus bersifat mengubah atau memperbaiki, diperlukan adanya aktivitas eksplorasi fakta. Dengan mehamami fakta secara tepat -tentu dengan taufik Allah serta inâyah-Nya- kita dapat menerapkan hukum-hukum syariat terhadap fakta yang ada. Dengan begitu, kita dapat memastikan apakah aktivitas yang kita lakukan ditujukan untuk mengubah fakta atau sekadar memperbaikinya.
Aktivitas mengubah apa pun—apakah jiwa, individu, masyarakat, ataupun kondisi yang ada—harus dimulai dari asasnya. Asas tersebutlah yang melahirkan setiap pemikiran maupun aturan yang mengatur perilaku manusia maupun para penguasa. Berdasarkan asas itu pula, pemikiran-pemikiran maupun hukum-hukum cabang dibangun, sehingga dapat ditentukan pula apakah manusia tersebut akan bahagia atau sengsara; mampu membangkitkan masyarakat tersebut ataupun tidak; dan seterusnya.
Reformasi (Taghyîr) Sebagai Aktivitas Bersama
Aktivitas perubahan terhadap negara tentu lebih berat ketimbang perubahan terhadap individu. Pasalnya, aktivitas taghyîr tersebut identik dengan revolusi sosial, yang tentunya berada di luar kapasitas individu. Padahal, Allah Swt. dan Rasul-Nya telah memerintahkan kita untuk melakukan aktivitas yang diwajibkan sesuai dengan kadar kemampuan kita; baik dalam pemikiran, dana, maupun fisik.
Dengan demikian, aktivitas perubahan terhadap negara—mengubah sistem kufur menjadi sistem Islam—merupakan aktivitas yang bersifat kolektif (bersama), bukan aktivitas individu, karena aktivitas tersebut memang berada di luar kemampuan individu. Konsekuensinya, hukum bergabung atau mendukung organisasi yang mengemban ide Islam yang bersifat ideologis—dalam bentuk ide yang cemerlang dan bersih dari kontaminasi ide-ide kufur; bersifat konsisten, tanpa pamrih, dan ikhlash dalam melakukan aktivitas perubahan; sekaligus sejalan dengan tharîqah dakwah Nabi saw.—adalah sama dengan hukum mengubah sistem kufur menjadi sistem Islam. Alasannya, tanpa adanya jamaah semacam ini, kewajiban tersebut memang tidak akan terlaksana. Dalam hal ini, berlaku kaidah yang sangat masyhur yang digali oleh para ulama ushul, yaitu:
”Jika suatu kewajiban tidak mungkin terlaksana kecuali dengan adanya sesuatu, maka sesuatu itu hukumnya wajib pula”.
Selamat datang REVOLUSI ISLAM, kalau bukan sekarang kau kulaksanakan, kapan lagi? Kalau bukan kita yang mengemban siapa lagi?. Allahu akbar 3X.
Wallâhu a’lam bi ash-shawâb.
*) Mahasiswa Sekolah Tinggi Elektronika dan Komputer (STEKOM)
Badan Eksekutif Korwil - Badan Koordinasi Lembaga Dakwah Kampus Jateng
(BE-Korwil BK-LDK Jateng)