Sunday, December 10, 2006

Selamat Datang Revolusi Islam...

Selamat datang Revolusi Islam,
Selamat tinggal Reformasi -- Reformasi telah Gagal dan Mati
Oleh : Rohmadi *)

SEBUAH wajah pergolakan masyarakat menuntut perbaikan kehidupan baik dalam sistem maupun realitas, senantiasa panas dan akan terus menggairahkan sebuah pergerakan mahasiswa. Pada tahun 1998, sebuah proses transformasi masyarakat Indonesia untuk meruntuhkan rezim dan menuju kehidupan baru dilaksanakan. Reformasi (Reformasi, dalam makna generiknya berarti perubahan radikal untuk perbaikan (bidang politik, sosial, dan agama) dalam suatu masyarakat atau negara (Lihat: KBBI, cet. ke-3, hlm. 735. Balai Pustaka, 1990). Reformasi dalam pengertian ini berbeda dengan istilah “reformasi” yang berkembang sekarangini,, yang ternyata lebih menunjukkan quasi-reformasi (reformasi semu). Faktanya, sejak “Orde Reformasi” digulirkan, tidak ada perubahan signifikan—apalagi radikal—dalam kehidupan berbangsa dan bernegara kita. Perubahan yang ada bukan saja sangat parsial, tetapi juga cenderung artifisial), sebuah jalan pintas transformasi masyarakat yang diusung ramai oleh mahasiswa dan tokoh pembaharu, menyeruak ke tengah masyarakat, menikam rezim hingga runtuh dan hancur, memunculkan harapan baru rakyat akan kehidupan yang lebih baik di masa ke depannya. Dan berjalanlah sistem lama -kapitalis sekuler- dalam jiwa baru yang lebih segar dan bersemangat. Selangkah demi selangkah berjalanlah sebuah gerakan pembaharuan meniti ganasnya krisis negara, krisis masyarakat, merajut kesejahteraan yang lama porak-poranda, menyulam negara yang luka dan keropos oleh ganasnya rezim diktator dan sistem-kapitalis sekuler busuk.
Namun apa lacur, karena tidak jelinya pejuang pergerakan, bodohnya analisis transformasi, dan nafsu meraih kekuasaan baru oleh tokoh-tokoh pergerakan reformasi, jadilah sebuah jalan yang tidak shahih ditempuh. Semua opini seakan mengerucut kepada kebencian akan rezim, tapi mereka lupa bahwa rezim bengis itu adalah hasil didikan sistem busuk kapitalis sekuler. Mereka menikam anak harimau tapi lupa akan induknya. Jadilah sistem busuk kapitalis-sekuler berjalan dengan melenggang aman, reformasi telah melegitimasi setan itu menjadi wujud baru yang segar dan menjanjikan. Namun setan tetaplah setan dan akan selalu membawa pada kehancuran. Kapitalis-sekuler dalam darah baru itu menggerogoti bangsa dan membawanya pada jurang kematian yang seakan tak bisa diselamatkan lagi. IMF, Bank Dunia, membawa jeratan-jeratan hutang baru yang berlimpah dengan bunganya yang mencekik yang tak akan habis terbayar hingga tujuh turunan. Dan kapitalisasi di semua bidang mengucurkan pendidikan mahal, kesehatan mahal, privatisasi aset nasional, kemiskinan sistemik, penggusuran, BBM mencekik, sembako tak terjangkau, kelaparan, dan berbagai bentuk penindasan rakyat lainnya. Budaya kapitalis sekuler itu melahirkan pornografi-pornoaksi, kriminalitas tinggi, aristokrat pemerintah korup, DPR wakil rakyat tawuran, partai-partai pecah, dan berbagai kehancuran lainnya. Sungguh reformasi dengan tetap pada sistem kapitalis-sekuler ini sekedar hanya mampu menghasilkan PEMBUSUKAN NEGARA. Rakyat sudak tidak percaya lagi dengan negara ini, sistemnya busuk-pemerintahnya korup. Dan reformasi ini hanya akan membawa rakyat pada titik nadhir kemusnahan peradaban. Dan satu kata –selamat tinggal reformasi, reformasi telah gagal dan mati-.
Kawan, sekaranglah kata revolusi harus menyeruak lagi sebagai satu-satunya jawaban. Tapi bukanlah revolusi sosialis yang konyol dan tak masuk akal. Rakyat harus dibawa dan diselamatkan dalam revolusi menuju sistem Tuhan. Kaum muslimin harus disadarkan kembali akan fitrahnya sebagai makhluk Tuhan, dan hanya dengan kembali kepada-Nya, kembali pada kehidupan dengan pelaksanaan aturan Tuhan-Syari’at Islam-lah, keadaan akan baik kembali. Sekaranglah saatnya kita menyerukan dan berjuang menuju Revolusi Islam, perjuangan menuju penerapan syari’at Islam secara sempurna, dalam Negara Islam yang sesuai dengan metode kenabian Rasulullah Muhammad SAW.

Paradigma Baru Reformasi
Manusia, sebagaimana diketahui, tidak hanya hidup untuk masa kini. Ia akan selalu berpikir tentang masa depan; baik jangka pendek maupun jangka panjang; baik terkait dengan masa depan kehidupan dunianya maupun kehidupan akhiratnya. Artinya, manusia tidak akan pernah puas dengan realitas kehidupan yang dialaminya, sebaik apa pun kehidupan tersebut. Jika kehidupannya baik, dia tentu menginginkan yang lebih baik. Jika kehidupannya buruk, dia tentu menginginkan kebaikan. Demikian seterusnya.
Manusia tidak akan pernah berpikir tentang perubahan kecuali jika ia menyadari bahwa di dalam kehidupannya terjadi kerusakan atau kebobrokan. Paling tidak, ia menjumpai fakta yang tidak sesuai dengan yang ia kehendaki. Oleh karena itu, diperlukan adanya penginderaan terhadap kerusakan yang terjadi di masyarakat. Penginderaan terhadap fakta, dengan demikian, merupakan prasyarat mendasar bagi adanya aktivitas berpikir. Manusia tidak mungkin bisa memahami fakta yang sesungguhnya terjadi tanpa adanya upaya untuk melakukan penginderaan terhadap fakta tersebut atau, paling tidak, merasakan efeknya. Dengan begitu, manusia akan selalu berpikir untuk mengubahnya.
Penginderaan terhadap fakta yang rusak dan segala derivasinya adalah berbeda dengan penginderaan terhadap dinginnya salju atau panasnya api yang bersifat fisikal. Penginderaan fisikal semacam ini berbeda dengan penginderaan terhadap berbagai gejala kemaksiatan yang merajalela—seperti perjudian, pelacuran, dan transaksi ribawi. Untuk melahirkan penginderaan maknawi—misalnya di seputar baik-buruk atau benar-salahnya sesuatu -diperlukan pemikiran pendahulu, yakni pemikiran yang telah menetapkam kriteria tentang bagaimana tatacara menilai sesuatu. Dengan pemikiran pendahulu, manusia dapat menilai sesuatu. Adakalanya sebagian manusia menganggap bahwa suatu hal itu baik, sementara yang lain menganggapnya buruk.
Adanya kesadaran dan pemikiran pendahulu merupakan unsur yang amat penting bagi lahirnya sebuah perubahan, yang sebelumnya diawali dengan proses berpikir untuk melakukan perubahan tersebut. Namun demikian, adanya kesadaran terhadap kerusakan dan pemikiran pendahulu saja tidaklah cukup. Agar manusia melakukan perubahan diperlukan adanya aspek lain yang tidak kalah pentingnya, yaitu kesadaran terhadap fakta penggantinya. Dengan demikian, perubahan memerlukan tiga unsur penting: (1) Kesadaran dan penginderaan terhadap fakta yang rusak; (2) Pemikiran pendahulu yang menentukan tatacara menilai fakta yang rusak; (3) Kesadaran terhadap fakta pengganti yang akan menggantikan fakta yang rusak.
Setelah itu, manusia dituntut untuk melakukan aktivitas sebagai tindak lanjut dari aktivitas berpikirnya. Agar aktivitas tersebut terarah, manusia harus menerapkan kaidah kausalitas. (‘Abdul Karim as-Sami, Kaedah Kausalitas (terj.), Pustaka Thariqul Izzah. Bogor, 1996, cet. Ke-1, hlm. 5). Di samping itu, manusia juga harus berpikir sungguh-sungguh (at-tafkîr al-jaddî) untuk merealisasikan tujuan yang hendak diraih. Berpikir sungguh-sungguh melibatkan dua aspek; (1) Tujuan—di dalam melakukan perubahan—dan pemahaman terhadap fakta penggantinya; (2) Upaya signifikan dalam rangka merealisasikan tujuan yang ditetapkan. (Taqiyuddin an-Nabhani, At-Tafkîr, terbitan Hizbut Tahrir. Al-Quds, 1973, cet. Ke-1, hlm. 115).
Walhasil, perubahan merupakan suatu hal sangat alamiah bagi manusia. Masalahnya, perubahan yang bagaimana yang seharusnya dilakukan, khususnya oleh kaum Muslim saat ini, agar menjadi lebih baik?
Dari “Reformasi” ke Reformasi: Membedakan Antara Islâh dan Taghyîr
Islam adalah agama yang sempurna. Di dalamnya tentu terdapat konsep perbaikan (al-Ishlâh) dan perubahan (at-taghyîr). Kedua konsep ini sebetulnya berlaku bagi setiap bangsa, negara, dan masyarakat pada setiap masa. Ini sesuai dengan sifat Islam yang rahmah li al-’âlamîn. Jika secara syar’î kondisi tertentu mengharuskan perbaikan secara umum, bukan semata-mata rekonsiliasi sebagaimana yang akhir-akhir ini kembali diangkat, maka yang dituntut oleh Islam adalah juga perbaikan. Demikian pula dengan perubahan.
Islam memberikan petunjuk yang jelas tentang tatacara melakukan aktivitas perbaikan (revisi) maupun perubahan (reformasi). Islam membedakan dengan tegas keduanya. Islam juga menjelaskan batasan yang jelas ihwal kapan perbaikan dilakukan dan kapan dilakukan perubahan. Bahkan, tidak hanya itu, Islam juga menjelaskan berbagai detail hukum-hukumnya secara rinci dan jelas.
Sementara itu, berkaitan dengan perbaikan yang sifatnya parsial (lebih tepat diistilahkan dengan revisi, bukan reformasi, sebagaimana yang dimaknai oleh sebagian besar dari kita saat ini).
Rasulullah saw. juga bersabda berkaitan dengan perbaikan masyarakat dan manusia secara umum: ”Pada mulanya Islam datang dalam kedaan asing kemudian Islam akan kembali menjadi asing sebagaimana awalnya. Berbahagialah orang-orang asing, yaitu orang-orang yang melakukan perbaikan terhadap sunnah-sunnah yang telah dirusak oleh manusia”. (HR. at-Turmudzi no. 2554.)
Reformasi (taghyîr) mencakup masalah yang mendasar dan total, yakni mencakup masalah akidah dan syariah sekaligus; sementara “reformasi” (islâh) menyangkut masalah cabang yang tentu bersifat parsial, yakni hanya menyangkut masalah syariat.
Secara umum, Dunia Islam saat ini berada dalam kondisi yang benar-benar terpuruk. Keterpurukan tersebut bersifat multidimensional; meliputi aspek politik, ekonomi, sosial, dan bahkan pemikiran. Umat ini tidak lagi memiliki sifat sebagaimana yang digambarkan oleh Allah Swt. dalam firman-Nya:
“Kalian adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh hal-hal yang makruf, dan mencegah hal-hal yang mungkar, sementara kalian beriman kepada Allah”. (QS Ali Imran [3]: 110).
Generasi Islam di masa lalu telah bersentuhan dengan Islam dan melakukan reformasi diri secara total. Mereka seakan dilahirkan kembali di dunia ini untuk yang kedua kalinya. Karena Islamlah mereka dapat menaklukkan negara super power pada waktu itu—Persia dan Romawi. Mereka juga mampu menggetarkan jantung Eropa dengan menaklukkan sebagian Eropa Timur, mengepung Kota Wina, bahkan meruntuhkan tembok dinding Konstantinopel.
Jika kita merefleksikan generasi tersebut pada kondisi umat Islam saat ini, kita pasti akan berkesimpulan bahwa kondisi umat saat ini bukanlah kondisi yang alamiah bagi mereka. Kondisi mereka sangat kontradiktif dengan deskripsi al-qur’an di atas. Dengan statusnya sebagai negara nasional, kekayaan mereka dirampok oleh orang-orang kafir, dan dilanggar kehormatannya; bahkan oleh manusia yang paling pengecut di dunia, yakni Yahudi. Mereka tidak ubahnya hidangan yang diperebutkan oleh orang-orang kafir; persis sebagaimana isyarat yang disampaikan oleh Nabi saw. Hal itu terjadi karena jauhnya kaum Muslim dari Islam dalam semua aspek kehidupannya; terutama dalam aspek pemerintahan, ekonomi, politik, dan sosial. Lebih menyedihkan lagi, kaum Muslim menjadikan orang-orang kafir yang telah merampok, mengeksploitasi, dan memperbudak mereka sebagai model dalam kehidupan.
Dalam kondisi seperti itu, diperlukan adanya upaya yang sungguh-sungguh untuk mengembalikan jatidiri kaum Muslim, sebagaimana yang telah digariskan oleh Zat Yang menciptakan manusia. Pertanyaan yang muncul adalah, kalaulah kita harus berubah, apakah saat ini kita cukup melakukan perbaikan yang bersifat tambal-sulam, ataukah harus melakukan perubahaan total; tentu dengan asumsi bahwa yang menentukan pilihan terhadap kedua hal tersebut adalah Allah Swt., bukan hawa nafsu maupun kemaslahatan yang ditentukan oleh akal manusia (Lihat: QS al-A’raf [7]: 54 dan al-Jatsiyah [45]: 18).
Untuk menentukan apakah dakwah kita saat ini harus bersifat mengubah atau memperbaiki, diperlukan adanya aktivitas eksplorasi fakta. Dengan mehamami fakta secara tepat -tentu dengan taufik Allah serta inâyah-Nya- kita dapat menerapkan hukum-hukum syariat terhadap fakta yang ada. Dengan begitu, kita dapat memastikan apakah aktivitas yang kita lakukan ditujukan untuk mengubah fakta atau sekadar memperbaikinya.
Aktivitas mengubah apa pun—apakah jiwa, individu, masyarakat, ataupun kondisi yang ada—harus dimulai dari asasnya. Asas tersebutlah yang melahirkan setiap pemikiran maupun aturan yang mengatur perilaku manusia maupun para penguasa. Berdasarkan asas itu pula, pemikiran-pemikiran maupun hukum-hukum cabang dibangun, sehingga dapat ditentukan pula apakah manusia tersebut akan bahagia atau sengsara; mampu membangkitkan masyarakat tersebut ataupun tidak; dan seterusnya.

Reformasi (Taghyîr) Sebagai Aktivitas Bersama
Aktivitas perubahan terhadap negara tentu lebih berat ketimbang perubahan terhadap individu. Pasalnya, aktivitas taghyîr tersebut identik dengan revolusi sosial, yang tentunya berada di luar kapasitas individu. Padahal, Allah Swt. dan Rasul-Nya telah memerintahkan kita untuk melakukan aktivitas yang diwajibkan sesuai dengan kadar kemampuan kita; baik dalam pemikiran, dana, maupun fisik.
Dengan demikian, aktivitas perubahan terhadap negara—mengubah sistem kufur menjadi sistem Islam—merupakan aktivitas yang bersifat kolektif (bersama), bukan aktivitas individu, karena aktivitas tersebut memang berada di luar kemampuan individu. Konsekuensinya, hukum bergabung atau mendukung organisasi yang mengemban ide Islam yang bersifat ideologis—dalam bentuk ide yang cemerlang dan bersih dari kontaminasi ide-ide kufur; bersifat konsisten, tanpa pamrih, dan ikhlash dalam melakukan aktivitas perubahan; sekaligus sejalan dengan tharîqah dakwah Nabi saw.—adalah sama dengan hukum mengubah sistem kufur menjadi sistem Islam. Alasannya, tanpa adanya jamaah semacam ini, kewajiban tersebut memang tidak akan terlaksana. Dalam hal ini, berlaku kaidah yang sangat masyhur yang digali oleh para ulama ushul, yaitu:
”Jika suatu kewajiban tidak mungkin terlaksana kecuali dengan adanya sesuatu, maka sesuatu itu hukumnya wajib pula”.
Selamat datang REVOLUSI ISLAM, kalau bukan sekarang kau kulaksanakan, kapan lagi? Kalau bukan kita yang mengemban siapa lagi?. Allahu akbar 3X.

Wallâhu a’lam bi ash-shawâb.













*) Mahasiswa Sekolah Tinggi Elektronika dan Komputer (STEKOM)
Badan Eksekutif Korwil - Badan Koordinasi Lembaga Dakwah Kampus Jateng
(BE-Korwil BK-LDK Jateng)

1 comment:

bdm immaro said...

revolusi damai.....yes Allahu Akbar